Selasa, 09 Juli 2013

SA'ID BIN HARITS BUKA PUASA BESAMA BIDADARI

Hisyam bin Yahya al-Kinaniy berkata, “Kami berperang melawan bangsa Romawi pada tahun 38 H yang dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik. Dalam pertempuran itu ada
di antara kami seorang lelaki yang bernama Sa’id bin
Harits yang terkenal banyak beribadah, berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari.

Saya melihat orang itu adalah orang yang sangat
bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik siang maupun
malam hari. Jika dia tidak sedang melakukan shalat atau
ketika kami berjalan-jalan bersama, saya lihat dia tidak
pernah lepas dari berdzikir kepada Allah dan membaca Al-
Qur’an.

Pada suatu malam ketika kami melakukan pergantian jaga
(saat mengepung benteng Romawi), sungguh saat itu kami
dibuat bingung olehnya. Saat itu saya katakan kepadanya,
‘Tidurlah sebentar karena kamu tidak tahu apa yang akan
terjadi pada musuh. Jika terjadi sesuatu agar nantinya
kamu dalam keadaan siaga.’

Lalu dia tidur di sebelah tenda sedangkan saya berdiri di
tempatku berjaga. Di saat itu saya mendengar Said
berbicara dan tertawa, lalu mengulurkan tangan kanannya
seolah-olah mengambil sesuatu kemudian mengembalikan
tangannya sambil tertawa. Kemudian ia berkata, ‘Semalam.’
Setelah berkata seperti itu tiba-tiba ia melompat dari
tidurnya dan terbangun dan bergegaslah dia bertahlil,
bertakbir, dan bertahmid.

Lalu saya bertanya kepadanya, ‘Bagus sekali, wahai Abul
Walid (panggilan Sa’id), sungguh saya telah melihat
keanehan pada malam ini. Ceritakanlah apa yang kau lihat
dalam tidurmu.’

Dia berkata, ‘Aku melihat ada dua orang yang belum pernah
aku lihat kesempurnaan sebelumnya pada selain diri
mereka berdua. Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Sa’id,
berbahagialah, sesungguhnya Allah swt. telah mengampuni
dosa-dosamu, memberkati usahamu, menerima amalmu,
dan mengabulkan doamu. Pergilah bersama kami agar kami
menunjukkan kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang
telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.’

Tak henti-hentinya Sa’id menceritakan apa-apa yang
dilihatnya, mulai dari istana-istana, para bidadari, hingga
tempat tidur yang di atasnya ada seorang bidadari yang
tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya.
Bidadari itu berkata kepadanya, “Sudah lama kami
menunggu kehadiranmu.” Lalu aku berkata kepadanya, “Di
mana aku?” Dia menjawab, “Di surga Ma’wa.” Aku bertanya
lagi, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah istrimu untuk
selamanya.”

Sa’id melanjutkan ceritanya. “Kemudian aku ulurkan
tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak
dengan lembut sambil berkata, ‘Untuk saat ini jangan dulu,
karena engkau akan kembali ke dunia.’ Aku berkata
kepadanya, “Aku tidak mau kembali.” Lalu dia berkata, “Hal
itu adalah keharusan, kamu akan tinggal di sana selama tiga
hari, lalu kamu akan berbuka puasa bersama kami pada
malam ketiga, insya Allah.”

Lalu aku berkata, “Semalam, semalam.” Dia menjawab, “Hal
itu adalah sebuah kepastian.” Kemudian aku bangkit dari
hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri, dan
saya terbangun.

Hisyam berkata, “Bersyukurlah kepada Allah, wahai
saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari
amalmu.” Lalu dia berkata, “Apakah ada orang lain yang
bermimpi seperti mimpiku itu?” Saya menjawab, “Tidak
ada.” Dia berakta, “Dengan nama Allah, aku meminta
kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih
hidup.” Saya katakan kepadanya, “Baiklah.”

Lalu Sa’id keluar di siang hari untuk berperang sambil
berpuasa, dan di malam hari ia melakukan shalat malam
sambil menangis. Sampai tiba saatnya, dan sampailah
malam ketiga. Dia masih saja berperang melawan musuh,
dia membabat musuh-musuhnya tanpa sekalipun terluka.
Sedangkan saya mengawasinya dari kejauhan karena saya
tidak mampu mendekatinya. Sampai pada saat matahari
menjelang terbenam, seorang lelaki melemparkan
panahnya dari atas benteng dan tepat mengenai
tenggorokannya. Kemudian dia jatuh tersungkur, lalu
dengan segera aku mendekati dia dan berkata kepadanya,
“Selamat atas buka malammu, seandainya aku bisa
bersamamu, seandainya….”

Lalu ia menggigit bibir bawahnya sambil memberi isyarat
kepadaku dengan tersenyum. Seolah-olah dia berharap
‘Rahasiakanlah ceritaku itu hingga aku meninggal’.
Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata, “Segala puji bagi
Allah yang telah menepati janji-Nya kepada kami.” Maka
demi Allah, dia tidak berucap kata-kata selain itu sampai dia
meninggal.

Kemudian saya berteriak dengan suaraku yang paling keras,
“Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua
melakukan amalan untuk hal seperti ini,” dan aku ceritakan
tentang kejadian tersebut. Dan orang-orang membicarakan
tentang kisah itu dan mereka satu sama lain saling
memberikan teguran dan nasihat. Lalu pada pagi harinya
mereka bergegas menuju benteng dengan niat yang tulus
dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah swt.
Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha benteng sudah bisa
dikuasai berkat seorang lelaki shaleh itu, yaitu Sa’id bin
Harits. Allahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar